
Mengapa saya seperti ditakdirkan tidak bisa apa-apa? Lahir dari keluarga biasa-biasa saja, di lingkungan biasa-biasa saja dengan teman-teman yang biasa, pendidikan yang biasa dan sialnya, tidak memiliki kemampuan yang bisa saya banggakan dibandingkan dengan teman lain yang rasanya semua serba bisa.
Saat SD, saya selalu tertekan jika ada permintaan untuk menyanyi diatas panggung atau didepan kelas. Selain saya tidak punya bakat menyanyi (Zeze Vavai akan memilih untuk tertidur pulas jika saya mulai menyanyi, hehehe…), entah mengapa saya selalu down kalau berdiri didepan orang banyak, apalagi jika berdiri diatas panggung.
Saat acara panggung hiburan kenaikan kelas sewaktu saya kelas 4 SD, saya ikut bermain dalam sebuah acara drama komedi. Drama tersebut menguras tawa penonton bukan karena kelucuan dialognya, melainkan karena saya salah tingkah diatas panggung. Baru saya naik saja penonton sudah tertawa terbahak-bahak. Saya tidak tahu apakah penonton tertawa karena acting saya atau karena melihat saya salah tingkah :-) .
Sewaktu SMP, saya tertekan karena disaat teman-teman sudah bicara soal film-film di RCTI (waktu itu TV swasta pertama dan satu-satunya, baru beredar di Jakarta dan sekitarnya, mesti pakai antena khusus / decoder untuk menerimanya), saya hanya diam saja karena saya memang tidak punya TV yang bisa menangkap sinyal RCTI. Sedih sekali rasanya. Disaat teman-teman bicara soal Mac Gyveratau Air Wolf atau Knight Rider, saya hanya asyik mendengarkan karena saya tidak punya bahan untuk diceritakan. Kadang saya mengungsi kerumah family yang memiliki TV yang dapat menangkap sinyal RCTI untuk menonton film favorit tersebut agar memiliki bahan untuk diceritakan.
Ketika SMP pula (saya bersekolah di SMPN 1 Tambun - Bekasi), guru fisika saya mengatakan sesuatu yang melukai hati saya dan membuat saya tidak respek padanya. Sewaktu dia mengajar, dia bercerita soal kabut didalam kulkas. Saya mendengarkan sambil mengangguk-angguk, ingat kulkas di rumah yang memang menghembuskan kabut dingin jika dibuka. Melihat saya mengangguk-angguk, dia berkata, “Vavai, memangnya kamu punya kulkas ?”. Geeer, semua teman saya tertawa tapi saya tidak. Mungkin maksud sang guru sekedar bercanda tapi roman mukanya lebih kepada rasa sangsi bahwa saya punya kulkas. Ada kesan yang sulit ditepis bahwa dia menyepelekan saya. Saya terluka saat itu, namun saya berketetapan dalam hati bahwa saya akan tunjukkan pada dia bahwa anggapan dia itu salah. Rasanya saya menjadi orang yang paling minder di sekolah.
Saat saya SMA, saya menjadi minder kala teman-teman kelas saya asyik dengan dunia band. Rasanya menjadi orang paling kuper sedunia karena saya tidak berbakat pada musik. Saya senang dengan piano atau organ dan pernah beberapa kali menggunakannya tapi kesukaan saya justru bukan itu. Saya paling tidak berbakat dalam hal musik.
Selepas SMA dan sering main keberbagai tempat (Hiking), barulah saya menyadari bahwa orang tidak perlu menjadi bunglon untuk bisa sukses dan untuk bisa berhasil. Ada orang yang dilahirkan dengan berbagai kelebihan tapi itu tidak menjaminkeberhasilan dalam hidup. Ada orang yang biasa-biasa saja tapi disukai banyak orang dan hidupnya tidak pernah kesusahan.
Jika ada orang yang pandai bermain musik, itulah kelebihan dia. Kita tidak perlu jumpalitan memaksakan diri untuk bisa semahir mereka dalam bermain musik. Jika ada rekan yang pandai dalam olah raga, itulah kelebihan dia dan kita tidak perlu iri pada kelebihan tersebut.
Semua orang pasti punya kelebihan, tinggal dia tahu atau tidak dan menyadari atau tidak kelebihannya itu.
Jika sewaktu SD saya sering gemetar diatas panggung atau bicara dihadapan orang banyak, sekarang saya bisa dengan leluasa menjadi pembicara dalam seminar. Ya memang seminar kecil-kecilan yang dihadiri 100-an orang tapi ini cukup melegakan saya jika saya ingat kekhawatiran saya saat masih kecil. Saya juga tidak minder lagi karena saya yakin saya punya kemampuan dan tidak semua orang memilikinya.
Ternyata minder itu soal mindset. Soal perasaan. Soal cara pandang kita pada diri kita sendiri. Tak mungkin seseorang dilahirkan tanpa kelebihan dibandingkan orang lain. Persoalannya adalah mengetahui dan mengelola kelebihan itu.
Ingat selalu bahwa dunia terdiri dari orang yang beraneka ragam. Jika semuanya memiliki kemampuan yang sama, homogen dalam segala hal tentu tidaklah indah. Buat apa kita menonton pertunjukkan musik kalau semua orang jago bermain musik ? Jika kita tak pandai bermain musik, mungkin kita bisa menjadi seorang pendengar musik yang baik.
Jangan takut pada ketidakmampuan diri sendiri. Mungkin kita tidak berbakat pada satu hal namun masih ada banyak hal dimana kita memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dokter yang populer misalnya, mungkin saja bukan dokter yang memiliki kemampuan teknis yang luar biasa, yang pandai melakukan operasi dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Bisa saja dokter populer tersebut terkenal karena ia selalu mengapresiasi pasiennya. Ia berempati, ia mau mendengarkan keluhan pasiennya, sesuatu yang sulit bagi orang lain karena kecenderungan orang adalah meminta orang lain mendengarkan mereka.
Jangan selalu memandang kekurangan. Wajah tidak cantik, penampilan tidak ganteng mungkin saja membuat kita tidak percaya diri, namun lihatlah banyak orang terkenal, banyak artis terkenal, banyak ilmuan terkenal, banyak orang yang sukses yang tidak semuanya harus berwajah ganteng atau cantik. Bukankah banyak kejadian dimana orang dengan wajah biasa-biasa saja justru mendapatkan pasangan yang cantik atau ganteng ?
Jangan pernah minder dan jangan putus asa. Minder dan putus asa hanya membuat sulit kehidupan kita. Bukan orang lain yang menuai kesulitannya. Susah dan senang dalam hidup, kan kita juga yang menjalaninya.